Selasa, 30 November 2010

EMPTY

1.
Jika ada yang bertanya aku lesbi atau bukan, aku akan menjawab dengan suara lantang. Aku bukan. Tapi jika kesendirianku ini dikatakan begitu, tak masalah. Itu hak orang yang mengataiku. Selama ini orang tuaku pun tak begitu mempermasalahkannya, bahkan cenderung mendukungku. Menurut mereka, dari kecil aku sudah dijodohkan dengan anak sahabat papa yang juga punya studio foto.

Sahabat yang mana, aku tak tahu. Karena selama ini teman-teman papa semuanya punya studio foto. Dan hampir semuanya seprofesi dengan papa, fotografer. Sahabat paling dekat, Om Adi, sudah jelas ia tidak punya anak lelaki seumuranku. Lalu, om Nanda, anak lelakinya masih kecil, dan tidak mungkin calon suamiku. 

Aku jadi penasaran dan terus bertanya-tanya siapa jodohku, dan bagaimana rupanya. Apa lelaki yang kupotret hari ini itu jodohku atau bukan. Pertanyaan-pertanyaan itu sering menggelitikku setiap harinya. Bahkan kini, saat usiaku menginjak angka 25, aku masih belum juga dipertemukan dengan lelaki itu. Perjodohan macam apa ini?

2.
Akhirnya aku tiba di tanah air setelah lulus S2 di negeri Belanda. Kulihat bandara cukup ramai hari itu, tapi tidak ada seseorang yang menjemputku karena aku tidak memberi tahu siapapun kapan kepulanganku. Terik matahari tropis sudah lama kurindukan setelah bertahun-tahun di negeri yang cukup dingin, seraya akupun beranjak menuju taxi dan mengemas koperku kedalam bagasi yang hampir tidak muat karena koperku lumayan besar walau hanya berisi pakaian.

Sepanjang perjalanan aku membaca SMS yang tidak sempat kubuka beberapa diantaranya ada yang menitipkan rokok kretek “dasar mahasiswa rantauan” pikirku sambil tersenyum. Pandanganku teralihkan keluar jendela, aku telah pulang tapi aku seperti orang yang terasingkan disini. Perubahan dimana-mana, namun apakah akupun tlah berubah? Berkali-kali aku melihat nama itu di phonebook, “Rachel” pacarku waktu SMU, masihkah ia seperti yang dulu? 

Sudah bertahun-tahun aku tidak mendengar kabarnya, aku tak tahu apakah ia sudah menikah atau belum, ia sudah beranak atau ia bekerja dimana, tak sedikitpun kabar yang kudengar. Seperti ada kerinduan yang tak terobati dibenakku. Hingga akhirnya aku sampai didepan rumahku yang hampir delapan tahun kutinggalkan, sedikit ada perubahan dan tiba-tiba ibu keluar dan memelukku

Senin, 08 November 2010

Tanda tanya

“Dokter, apakah suami saya akan baik-baik saja?” tanya seorang gadis yang datang bersamanya setelah kecelakaan sepeda motor dengan truk pasir. Aku hanya tersenyum untuk menenangkannya sambil memompa tensimeter, sedangkan temanku sibuk memasang rekam jantung di dadanya dan lainnya menyiapkan obat kedalam suntikan. Ibu itu hanya menatap cemas dengan sesekali bernafas tersengal. “90/60 dok” teriakku kepada dokter supervisi yang sedang menanyakan kronologis kejadian kepada sopir yang menabraknya sambil ditemani seorang polisi yang masih muda. Terlihat seorang perawat senior yang cukup cekatan memasang jarum infus ke dalam pembuluh darahnya yang kecil, ia sudah puluhan tahun mengabdi ditempat ini dengan gaji yang pas-pasan dan mengharuskannya bekerja tambahan di Rumah Sakit swasta untuk menghidupi keluarganya.

Aku mulai menghitung denyut nadinya yang kupegang di ujung jemari dan tatapanku melihat jam tangan hitam yang sedikit tergores dikacanya. Sedangkan temanku sedang memeriksa suara nafas dengan mendekatkan telinganya ke dekat mulut ibu tersebut. Ada suara cairan, yang artinya bisa berupa darah atau cairan lain yang menghambat jalan nafas ibu itu. Dokter supervisi itu mulai menjelaskan kepada gadis itu bahwa ia akan memasukkan selang lewat mulut, gadis itu mengiyakan sambil menangis kebingungan lalu dokter itu meminta tanda tangan untuk formulir persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan. “maaf dok, saya cuma pacarnya” ujar gadis itu. Dokter itu mulai mengernyitkan dahinya, lalu ia bertanya siapa yang berhak untuk melakukan tanda tangan itu, tapi tidak ada orang lain, maka dilakukan prosedur darurat untuk menyelamatkan laki-laki tadi.

Terpasang selang dimulut laki-laki itu, sambil memompa balon karet secara berirama aku sedikit berpikir, apakah aku salah mendengar ketika pertama kali ia datang gadis itu menyebutkan bahwa laki-laki ini suaminya. Suara rekam jantung juga sedikit melemah, dokter supervisi tadi secara periodik menyuntikkan obat ke dalam aliran darahnya lewat selang infus. Tidak lama kemudian pasien anak-anak dengan gagal nafas datang ke ruangan resusitasi, karena aku sedang bertugas memompa nafas maka teman-temanku dan perawat tadi yang melakukan ritme seperti laki-laki ini datang. Belum selesai melakukan semua, dokter supervisi  yang mendengarkan suara nafas melalui stetoschope tidak mendengar apapun, ia langsung memijat jantung dengan menekan dadanya dengan kedua tangannya, perawat tadi sudah berhasil memasang infus dan menggelontorkan cairan infus secara cepat untuk mengganti volume cairan yang hilang karena perdarahan.

Secara bergantian mereka memijat jantung dengan menaiki tangga kayu seperti dipan, masing-masing punya tiga siklus dimana satu siklusnya sebanyak lima belas pijat jantung dan 2 kali nafas buatan yang dipasangkan ke masker dengan balon karet khusus diujungnya. Setengah jam berlalu, terlihat semua personil tim mulai kelelahan dan tidak menunjukan adanya perbaikan. Dokter supervisi mulai memberi tahu keluarganya bahwa ia telah melakukan yang terbaik, terlihat ibu dari pasien disebelahku menghampiri anaknya sambil menangis, dan ayahnya turut mengadzani ditelinganya. Pemandangan yang menyedihkan tapi memang kematian bisa datang kepada siapa saja, kapan saja tanpa memandang apapun.

Tiga jam berlalu, aku mulai kelelahan memompa balon karet untuk menopang nafas laki-laki ini, temanku mengangguk dan mulai menggantikan posisiku dan aku minta ijin ke dokter supervisi untuk mencari minum dikantin, saat berjalan aku melihat gadis tadi tersenyum padaku, masih muda, dengan rambut panjangnya tertutup balutan jaket parasit dan terlihat merk sepeda motor dibelakangnya. Tiba-tiba seorang ibu melangkah cepat kearah kami, dan langsung menjambak gadis itu, ia mulai mencaci dengan muka yang penuh marah. Aku melerainya dibantu dokter jaga yang ada disekitarku dan tidak lama kemanan rumah sakit mendatangi kami. Sambil melerai aku bertanya ibu ini siapa tiba-tiba marah seperti ini. Ibu itu menjawab sambil menenangkan diri “saya ini istrinya dok, suami saya pagi tadi pamit ke kota ini untuk berdagang, tapi saya tahu ia pasti dengan pelacur ini” Spontan semua mata tertuju pada kami karena ibu itu menjelaskan dengan suara lantang. Gadis itu tertunduk sambil menangis. Lalu keamanan rumah sakit mulai membawa mereka ketempat yang lebih sepi agar tidak terlalu menimbulkan pusat perhatian.

Aku tiba-tiba merasa pusing, dan mengambil beberapa gorengan dan minuman botol dikantin. Saat aku kembali terlihat ibu itu didepan pintu ruangan kami, sedikit lebih tenang tapi aku melihat kesibukan didalamnya. Laki-laki tadi mengalami henti jantung, dan beberapa temanku sudah mengantri untuk bergiliran memijat jantung. Kami tidak melakukan defibrilasi atau memberi kejut elektrik, karena itu hanya ada di film dan sinetron, pada kenyataan hal itu hanya dilakukan bila jantung masih berfungsi tapi ada tanda khusus, bukan pada henti jantung seperti ini.

Tiga puluh menit kemudian dokter supervisi tadi memerintahkanku untuk menyampaikan kepada keluarganya bahwa laki-laki itu sudah meninggal. Aku menyampaikannya secara hati-hati, tapi ibu itu sudah pasrah tidak tahu harus marah atau sedih. Ia hanya menyampaikan terima kasih padaku, telah melakukan yang terbaik kepada orang yang ia cintai seumur hidupnya dan meninggal pada saat dengan wanita lain, aku hanya terdiam lalu kembali ke laki-laki itu. Melepaskan selang dan kabel-kabel yang melilit ditubuhnya.
Sungguh aku tak tahu harus berpikir apa untuk menilai laki-laki ini, lagipula bukan hakku menilainya, semua sudah ada yang mengatur, aku hanya melakukan tugasku menghindari manusia dari kematian, tapi takdir berkata lain, kematian akan datang menghampiri bisa disaat yang tepat atau tidak tepat, memberi kebahagiaan atau memberi tanda tanya kepada yang ditinggalkan.